Friday, February 26, 2016

MAKALAH TENTANG WAKAF Kelas X


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Di Indonesia telah mengenal wakaf baik setelah Islam masuk maupun sebelum
Islam masuk. Di tanah jawa, lembaga-lembaga wakaf telah dikenal pada masa Hindu-
Buddha yaitu dengan istilah Sima dan Dharma. Akan tetapi lembaga tersebut tidak
persis sama dengan lembaga wakaf dalam hukum Islam. Dan peruntukannya hanya
pada bidang tanah hutan saja atau berupa tanah saja. Umumnya, wakaf yang dikenal
pada masa sebelum Islam atau oleh agama-agama lain diluar Islam hampir sama
dengan Islam, yaitu untuk peribadatan. Dengan kata lain lambaga wakaf telah dikenal
oleh masyarakat pada peradaban yang cukup jauh dari masa sekarang. Namun tujuan
utama dari wakafnya yang berbeda-beda (untuk mendapat pahala, hanya untuk
masyarakat umum, dll). Sedangkan setelah masuknya Islam istilah wakaf mulai
dikenal. Menurut (Abdoerraoef) wakaf adalah menyediakan suatu harta benda yang
dipergunakan hasilnya untuk kemaslahatan umat. Sehingga ketika wakaf dikenal di
Indonesia juga mempengaruhi pengaturan perwakafan tanah di Indonesia yang
peruntukannya sebagai tempat-tempat peribadatan dan sosial yang dibuatnya peraturan-peraturan yang lebih khusus mengenai wakaf di era setelah kemerdekaan.
Hal ini dapat dilihat dari UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) yang terdapat pada Pasal 49
tentang Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari Wakaf ?
2. Apakah ada hukum dan dalil yang menjelaskan tentang wakaf ?
3. Apa saja rukun dan Syarat wakaf ?
4. Bagaimana tata cara perwakafan tanah milik ?
5. Bagai mana syarat untuk menjadi nadzir ?
6. Apa syarat, kewajiban, hak, serta tugas dari nadzir ?

C. Tujuan
Untuk menempuhi tugas Pendidikan Agama Islam serta menambah wawasan tentang Wakaf, mulai dari hukum, dalil, pemanfaatan, hingga syarat, kewajiban, hak, dan tugas dari lembaga yang mengatur dan mengadili wakaf
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN WAKAF
Kata wakaf atau waqf berasal dari bahasa Arab, yaitu Waqafa berarti menahan atau berhenti atau berdiam di tempat atau tetap berdiri. Wakaf dalam Kamus Istilah Fiqih adalah memindahkan hak milik pribadi menjadi milik suatu badan yang memberi manfaat bagi masyarakat (Mujieb, 2002:414).
Wakaf menurut hukum Islam dapat juga berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun berupa badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan syari’at Islam (M. Zein, 2004:425).
Wakaf adalah salah satu akad mu’amalah sesama manusia yang tidak pernah dikenal dalam sejarah sebelum Islam, sehingga orang-orang jahiliah pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak mengenalnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada para sahabatnya berupa anjuran untuk mewakafkan harta dengan cara yang berbeda dengan shadaqah secara umum.
Secara etimologi (bahasa), wakaf artinya diam, tetap, atau berdiri.
Sedangkan secara terminologi (istilah para ahli fiqh), wakaf artinya mengabadikan (menetapkan) sesuatu dan menjalankan (melepaskan) kemanfaatan atau kegunaannya[3] dengan mengharap pahala dari Alloh Ta’ala.
Adapun pengertian wakaf dari beberapa ahli :
Menurut Imam Nawawi, wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tetapi bukan untuk dirinyam sementara benda itu tetap ada padanya dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut Syaikh Umairah dan Ibnu Hajar al-Haitami,  Wakaf ialah menahan harta yang bisa dimanfaatkan dengan menjaga keutuhan harta tersebut, dengan memutuskan kepemilikan barang tersebut dari pemiliknya untuk hal yang dibolehkan.
Imam Syarkhasi, Wakaf yaitu menahan harta dari jangkauan kepemilikan orang lain.
Menurut al-Mughni, wakaf adalah menahan harta di bawah tanganpemiliknya, disertai pemberian manfaat sebagai sedekah.
Menurut Ibnu Arafah, Wakaf ialah memberikan manfaat sesuatu, pada batas waktu keberadaannya, bersamaan tetapnya wakaf dalam kepemilikan si pemiliknya meski hanya perkiraan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam,  Wakaf merupakan perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam.
Dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2004 mengenai Wakaf, Pengertian Wakafadalah perbuatan hukum wakif (pihak yang mewakafkan harta benda miliknya) untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
B. HUKUM DAN DALIL WAKAF
1.     DALIL WAKAF
a.      Menurut Al-Qur’an
Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:
1.png
“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267)
2.png
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92)
Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.
b.      Menurut Hadist
Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya.
Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah; “Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya? Sabda Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.”
Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak soleh yang mendoakannya.”
Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim sejak masa awal Islam hingga sekarang.
2.     HUKUM WAKAF
Hukum wakaf apabila dilakukan berdasarkan tuntutan syari'at maka wakaf tersebut hukumnya mustahab, sebab ia merupakan salah satu bentuk sedekah. Tapi sekiranya orang bernadzar mewakafkan sesuatu, maka wakaf tersebut menjadi sebuah kewajiban, lantaran nadzar tersebut. Namun, seandainya terdapat unsur kezhaliman pada akad wakaf tersebut atau mewakafkan sesuatu yang diharamkan, maka wakaf tersebut adalah haram. Hukum wakaf juga dapat menjadi makruh apabila wakaf tersebut menyulitkan ahli waris. Jadi, pada wakaf berlaku lima jenis hukum (mubah, wajib, sunnah, haram, atau makruh).
Dengan dasar hadits-hadits di atas maka kita mengetahui bahwa hukum asal wakaf adalah sunnah apabila dengan niat mencari pahala dari Alloh Ta’ala. Akan tetapi suatu ketika wakaf hukumnya bisa berubah sesuai dengan niatnya, karena setiap amalan tergantung pada niatnya.
Sebagai contoh:
  • Seorang yang mewakafkan tanahnya dengan maksud supaya mendapatkan pujian manusia maka hukum wakafnya menjadi haram, karena ini termasuk riya’ yang diharamkan dalam Islam.
  • Seorang yang bernadzar mewakafkan sebagian hartanya di jalan Alloh, maka hukum wakafnya    menjadi    wajib, karena ini termasuk nadzar sebuah ketaatan, dan nadzar ketaatan wajib dilaksanakan.
wakaf dianggap sah dengan dua perkara
Ada dua cara/jalan yang dapat dianggap sebagai wakaf yang sah, yaitu:
1. Dengan perbuatan
Apabila seseorang mewakafkan sebagian hartanya dengan cara melakukan sesuatu yang bermakna wakaf maka cara ini juga dianggap sebagai wakaf yang sah, walaupun dia tidak mengucapkan kata “wakaf” dengan lisannya.
Sebagai contoh: Apabila seseorang membangun masjid kemudian membiarkan siapa saja yang shalat dalarn masjid itu maka ini sama halnya orang tersebut mewakafkan tanahnya di jalan Alloh shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun dia tidak mengucapkan: “Tanah ini aku wakafkan untuk masjid.”
Contoh lain: Apabila seorang menjadikan sebagian tanahnya untuk pekuburan umum dan tidak melarang siapa saja yang menguburkan jenazah di sana, maka ini sama halnya orang tersebut mewakafkan sebagian tanahnya di jalan Alloh Ta’ala, walaupun dia tidak mengucapkan: “Tanah ini aku wakafkan menjadi kuburan umum.”
2. Dengan perkataan
Wakaf dengan perkataan dibagi menjadi dua macam:
a. Perkataan yang jelas (sharih), maksudnya adalah dengan perkataan yang bermakna wakaf secara jelas dan tidak mengandung arti selain wakaf. Contohnya, seorang berkata: “Aku wakafkan tanahku ini untuk pesantren.”
b. Perkataan kiasan (kinayah), yaitu dengan perkataan yang mengandung kemungkinan bermakna wakaf dan mengandung kemungkinan makna yang lain.
Contohnya, seorang berkata: “Aku sedekahkan rumah ini untuk para penuntut ilmu.”
Maka perkataan “Aku sedekahkan” dalam contoh di atas mengandung kemungkinan bermakna sedekah sebagaimana lafazh yang tersurat dan mengandung kemungkinan bermakna wakaf sebagaimana yang tersirat dan sebagaimana yang sering digunakan lafazh ini untuk maksud wakaf.
Untuk membedakan dua makna yang terkandung di dalamnya maka orang yang mengucapkan kalimat tersebut harus disertai niat salah satu dari dua maksud/makna tersebut, kalau dia mengatakan: “Aku sedekahkan” tetapi niatnya adalah mewakafkan maka ini dihukumi sebagai wakaf, tetapi kalau dia menginginkan/berniat sedekah maka perkataannya dihukumi sebagai sedekah.
Faidah. Perlu dibedakan antara wakaf dan sedekah, dikarenakan ada perbedaan yang sangat jelas antara keduanya. Di antara perbedaan yang sangat jelas adalah kalau wakaf berarti harta itu tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan. Berbeda dengan sedekah, maka orang yang diberi sedekah berhak melakukan apa saja terhadap harta itu karena sudah menjadi hak miliknya, sehingga boleh baginya menjual, menghibahkan, atau yang lainnya.
C. RUKUN DAN SYARAT WAKAF
A. Rukun Waqaf
Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf:
• Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif)
• Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf).
• Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi).
• Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).
B. Syarat Waqaf
A. Syarat orang yang berwakaf (Al-Waqif)
Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif) Syarat-syarat al-waqif ada empat,
1. Pertama, orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki.
2. Kedua, dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk.
3. Ketiga, dia mestilah baligh.
4. Keempat, dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.

B. Syarat benda yang di wakafkan (Al-Mauquf)
Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf)
1. Pertama, Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga
2. Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah.
3. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif).
4. Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).

C. Syarat orang yang menerima wakaf (Al-Mauquf Alaih)
Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam,
Pertama, tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll.
Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.

D. Syarat lafadz dan ikrar (Shigah)
Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat.
1. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu.
2. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu.
3. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti.
4. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.

D.  HARTA WAKAF DAN PEMANFAATANNYA
Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif. Harta benda wakaf terdiri dari benda tidak bergerak, dan benda bergerak.

           1.      Wakaf benda tidak bergerak
·         Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku, baik yang sudah maupun yang belum terdaftar.
·         Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah.
·         Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah.
·         Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
2.      Wakaf benda bergerak
·         Uang
Wakaf uang dilakukan oleh LKS yang ditunjuk oleh Menteri Agama. Dana wakaf berupa uang dapat diinvestasikan pada aset – aset financial dan pada asset riil.
·         Logam mulia,
Logam mulia yaitu logam dan batu mulia yang sifatnya memiliki manfaat jangka panjang.
·         Surat berharga
·         Kendaraan
·         Hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Haki mencakup hak cipta, hak paten, merek  dan desain produk industri.


E.  TATA CARA PERWAKAFAN TANAH MILIK
Tata cara perwakafan tanah milik secara berurutan dapat diuraikan sebagai berikut:
1.  Perorangan atau badan hukum yang mewakafkan tanah hak miliknya diharuskan datang sendiri dihadapan PPAIW untuk melaksanakan ikrar Wakaf.
2.  Calon wakif sebelum mengikrarkan wakaf, terlebih dahulu harus menyerahkan surat – surat (sertifikat, surat keterangan dll) kepada PPAIW.
3.  PPAIW meneliti surat dan syarat – syaratnya dalm memenuhi untuk pelepasan hak atas tanah.
4.  Dihadapan PPAIW dan dua orang saksi, wakif mengikrarkan dengan jelas, tegas dan dalam bentuk tertulis. Apabila tidak dapat menghadap PPAIW maka dapat membuat ikrar secra tertulis dengan persetujuan dari kandepag.
5.  PPAIW segera membuat akta ikrar wakaf dan mencatat dalam daftar akta ikrar wakaf dan menyimpannya bersama aktanya dengan baik.
Ø  Sertifikasi Tanah Wakaf
Dalam praktek di Indonesia, masih sering ditemui tanah wakaf yang tidak disertifikatkan. Sertifikasi wakaf diperlukan demi tertib administrasi dan kepastian hak bila terjadi sengketa atau masalah hukum. Sertifikasi tanah wakaf dilakukan secara bersama oleh Departemen Agama dan Badan Pertanahan Nasional  (BPN). Pada tahun 2004, kedua lembaga ini mengeluarkan Surat Keputusan Bersama  Menteri Agama dan Kepala BPN No. 422 Tahun 2004 tentang Sertifikasi Tanah Wakaf. Proses sertifikasi tanah wakaf dibebankan kepada anggaran Departemen Agama.
Ø  Ruilslag Tanah Wakaf
Nadzir wajib mengelola harta benda wakaf sesuai peruntukan. Ia dapat mengembangkan potensi wakaf asalkan tidak mengurangi tujuan dan peruntukan wakaf. Dalam praktek, acapkali terjadi permintaan untuk menukar guling (ruilslag) tanah wakaf karena alasan tertentu. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 memperbolehkan tukar guling atau penukaran harta benda wakaf dengan syarat harus ada persetujuan dari Menteri Agama
Ø  Sengketa Wakaf
Penyelesaian sengketa wakaf pada dasarnya harus ditempuh melalui musyawarah. Apabila mekanisme musyawarah tidak membuahkan hasil, sengketa dapat dilakukan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.
F.   SYARAT, KEWAJIBAN, DAN HAK NADZIR
1.     Syarat Nadzir
Syarat – syarat yang harus dimiliki oleh nadzir adalah sebagai berikut:
1.    Berakal
Seorang nazhir bukan orang gila atau kehilangan akal. Karena jika seorang nazhir adalah dari orang gila atau kehilangan akal, tidak bisa membedakan serta mengelola dirinya sendiri dan dia tidak berhak melakukan transaksi karena dianggap tidak cakap hukum.
2.    Dewasa
Seorang nazhir harus orang yang telah dewasa  sehingga dianggap cakap hukum dan ucapannya dapat dipertanggungjawabkan.
3.    Adil
Menurut Ulama Syafi’iyah mendenifisikan adil adalah dengan menjauhi setiap dosa besar dari berbagai macamnya, dan meninggalkan kebiasaan melakukan dosa kecil. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah yang sependapat dengan Imam Abu Hanifah bahwa perbuatan adil dapat diketahui dari keislamannya dan dia dikenal tidak pernah melakukan apa – apa yang diharamkan.
Dapat disimpulkan bahwa orang yang adil itu mempunyai ciri – ciri: menjauhkan dirinya dari perbuatan dosa – dosa besar dan  mencegah dirinya dari dosa – dosa kecil, kebaikan yang dimilkinya lebih banyak dari kejahatannya,  dan  kebenarannya  lebih banyak  dari pada  kesalahannya. 
4.    Mampu (Kecapakan  Hukum)
Yaitu, Kekuatan seseorang atau kemampuannya dalam mengelola sesuatu yang diserahkan kepadanya. Menurut para ulama  menentukan kecakapan bagi nazhir yaitu: memiliki  pengalaman  dan kemampuan,  tidak mengkhususkan ketentuan tersebut  bagi laki – laki saja perempuan  juga boleh, memiliki kecapakan dalam mengelola  setiap harta wakaf yang yang letaknya berbeda – beda.
5.    Islam
Pada syarat yang kelima ini banyak sekali pertentangan di kalangan para ulama tentang status agama pengelola wakaf. Tapi banyak ulama yang menganjurkan bahwa sahnya menjadi nazhir adalah yang beragama islam.
Bila syarat – syarat di atas tersebut tidak dipenuhi, hakim menunjuk orang lain yang mempunyai hubungan kerabat dengan wakif, dengan prinsip hak pengawasan ada pada wakif sendiri. Dan apabila si wakif tidak mempunyai hubungan kerabat, maka hakim dapat menunjuk orang lain.

2.     Kewajiban Nadzir
Kewajiban seorang Nadzir adalah : 
Mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya yang meliputi:
a.       Mernyimpan dengan baik lembar kedua salinan Akta Ikrar Wakaf 
b.      Pengelolaan dan Pemeliharaan harta wakaf serta meningkatkan hasil wakaf
c.       Melaksanakan syarat dari waqif
d.      Membela dan mempertahankan kepentingan harta wakaf yang sesuai dengan tujuan atau ikrar wakaf
e.       Melunasi hutang wakaf , yang diambil dari pendapatan atau hasil produksi harta wakaf.
f.       Membuat laporan hasil pencatatan keadaan tanah wakaf yang diurusnya dan penggunaan dari kasil wakaf itu.
g.      Membuat laporan hasil pencatatan keadaan tanah wakaf dan perubahan anggota nadzir, apabila ada salah seorang anggota nadzir:
1.      Meninggal dunia
2.      Mengundurkan diri
3.      Melakukan tindak pidana yang berhunbungan dengan jabatannya sebagai nadzir
4.      Tidak memenuhi syarat lagi
5.      Tidak dapat lagi melakukan kewajiban
h.      Mengajukan permohonan kepada Kanwil Departemen Agama. Kepala Bidang Urusan Agama islam melaui Kepala KUA dan Kantor Departemen Agama apabila diperlukan perubahan penggunaan tanah wakaf karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan  oleh wakif atau oleh karena kepentingan umum.

3.     Hak Nadzir
Hak – hak yang dimiliki seorang Nadzir :
Seorang nadzir berhak mendapatkan bagian dari hasil usaha wakaf produktif yang ia kelola dan kembangkan. Hal ini berdasarkan praktek sahabat Umar Bin Khatab Dan Ali Bin Abu Thalib. Menurut madzhab Hanafi, Maliki dan Imam Ahmad nadzir berhak mendapat upah dari hasil usaha harta wakaf yang telah dikembangkan. Adapun besarnya berbeda satu sama lain sesuai dengan tanggung jawab dan tugas yang diembankan. Tetap sesuai dengan ketentuan wakif, jika wakif tidak menetapkan, maka ditetapkan oleh hakim atau kesepakatan para pengelola/managemen wakaf yang ada. Sementara madzhab Syafi’i menyatakan bahwa wakif tidak berhak mendapatkan bagian.
Ataupun dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Menerima penghasilan dari hasil – hasil tanah wakaf yang besarnya telah ditentukan oleh Kepala Kandepag. Kepala seksi urusan Agama Islam dengan ketentuan tidak melebihi dari 10% dari hasil bersih tanah wakaf[4].
2. Nadzir dalam menunaikan tugasnya boleh menggunakan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh Kepala Kandepag.

G. ORGANISASI/BADAN HUKUM YANG BISA MENJADI NADZIR

Nazhir Wakaf  adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya demi kemaslahatan umat seperti untuk pendidikan untuk dakwah, untuk masjid dan untuk pemberdayaan akaum dhuafa.

Nazhir meliputi:

(a) perseorangan; Perseorangan hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan:
(i) warga negara Indonesia;
(ii) beragama Islam;
(iii) dewasa;
(iv) amanah;
(v) mampu secara jasmani dan rohani; dan (v) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

(b) organisasi; Organisasi hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan:
(i) pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan); dan
(ii) organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. Atau

(c) badan hukum. Badan hukum hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan:
(i) pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan;
(ii) badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
(iii) badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.

H. TUGAS NADZIR
Menurut Pasal 11 UU No. 41 tahun 2004, Nazhir mempunyai tugas:
a)    rnelakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
b)    mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukannya;
c)    mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
d)    melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

Pasal 12 UU No. 41 tahun 2004 menyebutkan, dalam melaksanakan tugassnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen).

Pasal 13 menyebutkan, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, nazhir memperoleh pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia. Dalam pasal 14 ayat 1 disebutkan, dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, nazhir harus terdaftar pada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia. Dalam ayat 2 disebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai nazhir sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13 dan pasal 14 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Share:

Related Posts:

0 comments:

Post a Comment

Random Posts

BTemplates.com